Setyo Pamungkas

Paksaan Hukum dan Nilai Kebebasan

Posted in Hukum (Law) by Setyo on January 11, 2011

Tentang Hak yang Dilindungi
Kebebasan merupakan suatu masalah yang kompleks, yakni dengan pemaknaan bahwa kebebasan yang dianggap sebagai kemampuan individu untuk melakukan apa saja yang dikehendakinya, yaitu sesuai dengan kepentingan, keinginan, dan selera seseorang. Kebebasan kemudian dilihat sebagai kemampuan untuk bertindak seseorang demi mewujudkan tujuan seseorang, apapun tujuannya.
Ada kesadaran bahwa setiap anggota masyarakat memiliki semacam kewajiban publik yang selalu ada dan ditemukan dalam satuan masyarakat. Namun di dalam masyarakat, kebebasan masih disadari sebagai nilai, yakni salah satu dari hak dasar yang dengannya maka manusia dapat memahami dan menghayati martabatnya sepenuhnya sebagai manusia. Dengan demikian, kebebasan individu menjadi perhatian masyarakat secara mendalam, terutama dalam pemahaman bahwa diperlukan paksaan demi pembatasan terhadap kebebasan. Paksaan ini diadakan dengan alasan kebaikan umum, yakni pembatasan terhadap kebebasan, harus dapat dipertanggungjawabkan.
Kebebasan bagi suatu masyarakat dianggap sebagai suatu ideal, dengan mengadakan perlindungan terhadap kebebasan tersebut, yakni dengan memberikan ruang yang cukup kepada pelaksanaa kebebasan tersebut. Akan tetapi pelaksanaan kebebasan seseorang tersebut, dimana kebebasan merupakan hak individu, berhadapan dengan pelaksanaan kebebasan orang lain. Hal ini berarti bahwa pelaksanaan kebebasan individu tidak boleh mengabaikan pelaksanaan kebebasan individu yang lain. Di tingkat masyarakat, dipahami bahwa perlindungan hak, oleh Bentham, adalah dibeli dengan seharga kebebasan orang lain, yakni diartikan dengan hak yang dilindungi hanya layak dilindungi oleh masyarakat sejauh kebebasan orang lain terlindungi juga. Hal ini juga menunjuk pada penegasan bahwa kebebasan individu hanya dapat dilaksanakan sejauh tidak melanggar kebebasan orang lain. Hak atas kebebasan inilah yang kemudian perlu untuk dilindungi.

Kebebasan dan Prinsip Nonintervensi
Mengenai kebebasan, John Stuart Mill menyatakan bahwa kebebasan suara hati dalam arti yang seluas-luasnya merupakan hal yang paling utama. Oleh karenanya, kebebasan berpendapat dan menyatakan perasaan merupakan hak absolut bagi semua orang. Kebebasan, oleh John Stuart Mill, dianggap nilai yang fundamental bagi manusia. Paksaan terhadap kebebasan adalah paksaan yang mengancam nilai yang fundamental ini, sehingga hanya perlu dilakukan sejauh membawa kebaikan. Oleh karena itu John Stuart Mill memberikan batasan pada pengenaan paksaan hukum. Paksaan hukum dibenarkan sepanjang penting untuk melindungi seseorang dari kekerasan pihak lain. Batas paksaan hukum terletak pada hal-hal yang berkaitan dengan prinsip membahayakan orang lain, dan di luar itu, harus dibiarkan karena menjadi urusan privat yang tidak boleh diintervensi hukum.
John Stuart Mill menolak adanya intervensi terhadap kebebasan individu. Alasannya setiap individu memiliki kemampuan untuk menilai apa yang menjadi kepentingannya, dengan berpikir secara rasional. Selain itu hukum yang mengintervensi kehidupan pribadi dipandang memiliki kecenderungan untuk tidak mendorong kepentingan individu, melainkan menghambat bahkan mendorong ke arah yang tidak tepat. Prinsip nonintervensi kemudian dipergunakan untuk melindungi hak dan kehidupan pribadi seorang warga negara. Prinsip nonintervensi dalam jangka panjang dipandang akan lebih memberikan manfaat bagi masyarakat, untuk menemukan kebenaran. John Stuart Mill mempercayai bahwa manusia berkemampuan secara moral rasional independen untuk menilai dan menentukan kualitas manfaat tindakannya bagi dirinya dan bagi orang lain. Independensi ini kemudian disebut sebagai kebebasan yang membawa kebahagiaan.
Oleh John Stuart Mill pula, perilaku individu dianggap memberikan pengaruh terhadap perilaku orang lain dan masyarakat. Perilaku individu dan efeknya kepada kepentingan orang lain atau masyarakat, perlu dipertimbangkan apakah akan memberikan dampak kebaikan lebih besar dari segi kebebasan manusia atau tidak. Oleh karena itu, paksaan hukum, diperlukan untuk membatasi perilaku orang lain, yang dianggap tidak membawa kebaikan. Paksaan hukum dianggap membatasi kebebasan hak orang lain. Akan tetapi yang penting dipahami adalah paksaan hukum dilakukan dengan maksud akan memperoleh kebaikan bagi masyarakat. Artinya bahwa paksaan hukum yang menimbulkan ketidaknyamanan bagi seseorang dan/atau masyarakat, diperlukan demi kebaikan bersama dalam masyarakat. Prinsip membahayakan orang lain digunakan sebagai dasar untuk membatasi kebebasan individu, namun pembatasan ini harus dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini berarti bahwa pembatasan kebebasan hanya dilakukan, sebatas pelaksanaan hak yang secara langsung bersentuhan dengan hak orang lain. Oleh John Stuart Mill kebebasan individu dibatasi sepanjang memang ada ancaman yang membahayakan orang lain. Dalam pendapatnya ini, ada ukuran ’membahayakan orang lain’ yang harus terpenuhi.
Prinsip nonintervensi dianggap penting oleh John Stuart Mill, dan karenanya pula, pendapatnya memberikan kontribusi penting bagi pemaknaan kebebasan dan paternalisme. John Stuart Mill berpendapat bahwa kebebasan adalah sesuatu yang sangat istimewa, sehingga paternalisme tidak ada dalam pandangannya tentang konsep hukum. Hal ini dikarenakan paternalisme pada dasarnya tidak menghargai kebebasan, dimana sifatnya sepihak dan menempatkan pihak yang diatur dalam posisi subordinan. John Stuart Mill juga menyatakan bahwa paternalisme bertentangan dengan asas kebebasan dan independensi. Selain itu, paksaan hukum (pembatasan legal) atas perilaku individu, hanya dilakukan hanya untuk membela dan menegakkan kedaulatan dan otonomi individu.

Paternalisme hukum
Dalam laporan yang dibuat oleh Wolfeden Committee , dimuat secara tegas bahwa harus ada wilayah privat untuk moralitas dan imoralitas yang secara kasar harus dikatakan bukan menjadi urusan hukum. Hukum sendiri berarti harus membatasi diri pada kegiatan yang mengancam tertib dan sopan santun publik atau kegiatan yang memngekspos hal-hal yang bersifat ofensif atau membatasi publik. Laporan rekomendasi tersebut pada dasarnya sejalan dengan pendapat John Stuart Mill mengenai prinsip membahayakan orang lain. Golding melihat bahwa ada ruang untuk hukum yang bersifat paternalistik, yakni dimana negara diserahi tanggung jawab atas kebaikan warga negara, dengan melalui hukum berusaha menjamin keselamatan dan kesejahteraan individual anggota masyarakat tanpa harus mengkaitkan urgensi hukum paternalistik dengan keselamatan dan kesejahteraan orang lain.
Golding memberikan kritik terhadap pendapat John Stuart Mill mengenai beberapa hal. Dalam kritiknya mengenai prinsip ’membahayakan orang lain’, Golding melihat bahwa John Stuart Mill gagal dalam melihat keterbatasan manusia dalam mengantisipasi berbagai tindakan yang membahayakan pihak lain. Membahayakan pihak lain ini, tidak semudah itu dihilangkan, ataukah dihindari. Golding membedakan antara perilaku atau tindakan yang berkaitan dengan diri sendiri (self regarding) dan yang berkaitan dengan orang lain (others regarding). Kedua perilaku tersebut berkaitan erat dengan eksistensi manusia dalam kehidupan sosialnya, dan adanya pengaruh-mempengaruhi (antara perilaku yang satu dengan perilaku yang lain, atau antara perilaku dengan orang lain/masyarakat), yang menjadi hal yang tidak dapat dihindari. Kritik Golding pada John Stuart Mill, juga mengenai apa yang dimaksud dengan ’ketidaknyamanan, bahaya, kerusakan, dan kerugian’ yang tidak didefinisikan secara tegas. Adanya ’ketidaknyamanan, bahaya, kerusakan, dan kerugian tersebut disebabkan karena perilaku manusia. Dalam menentukan pertimbangan rasional atas perilaku tertentu, akan berhadapan dengan pembatasan akan kebebasan.
John Stuart Mill memberikan penekanan pada kecenderungan untuk membatasi kebebasan individu, khususnya pada kebebasan dalam wilayah privat, melalui paksaan hukum. Baginya, pembatasan hukum harus mengenal distingsi antara wilayah privat dan wilayah publik agar tidak melanggar kebebasan. Paksaan hukum tidak boleh menutup ruang bagi individu untuk mengekspresikan diri sesuai dengan pertimbangan rasional independennya sendiri. Dalam hal ini pula, paksaan hukum kepada publik dapat dibenarkan sepanjang hanya bertujuan untuk membantu pengembangan kebebasan manusia.
H. L. A. Hart berpendapat bahwa pembatasan hukum demi kebaikan individu tidak dapat disebut dengan moralisme hukum, namun adalah bentuk dari paternalisme hukum. Yang berbeda dengan John Stuart Mill adalah bahwa alasan moral bukanlah alasan pembenar bagi adanya paksaan hukum, dan individu bukanlah penilai satu-satunya tentang apa yang paling tepat tentang kepentingannya. Paternalisme hukum tetap diperlukan oleh negara karena dapat digunakan untuk mengurangi dan menghindari kemungkinan negatif akibat perilakunya sendiri atau orang lain. Secara umum paternalisme hukum H.L.A Hart dapat dikenakan bukan hanya pada ruang privat, namun juga pada ruang publik, dengan tujuan untuk kebaikan individu dan masyarakat. Pemahaman ini juga menempatkan adanya proporsionalitas pada pengenaan pembatasan atau paksaan hukum. Paksaan hukum tidak melulu pada intervensi terhadap kebebasan individu, namun lebih kepada tanggung jawab negara untuk memberikan fasilitas kepada kepentingan individu. Hart juga menekankan pada sikap minimalis negara dalam membela dan menjamin kepentingan individu penting untuk dihindari. Negara harus tetap menjamin kebaikan individu, meskipun individu-individu tidak menyadari apa yang sepenuhnya baik bagi dirinya.
Pendapat Hart yang menyatakan bahwa paksaan hukum demi kebaikan individu adalah semata-mata tindakan hukum, bukan moral, memunculkan kritik, karena Hart merupakan pembela positivisme hukum (yang memisahkan moral dan hukum). Padahal pembatasan hukum tidak dapat dilepaskan dari moral, yakni apa yang disebut dengan nilai yang baik atau tidak. Hal ini karena ketika diperhadapkan dengan konsep keadilan, maka dengan sendirinya moral dijadikan pertimbangan hukum yang tidak dapat dihindari. Peraturan hukum yang dijadikan dasar penilaian dan pengambilan keputusan pada ruang publik, yang merupakan pendapat Hart dapat dibenarkan. Namun yang perlu diperhatikan adalah keberadaan konstitusi dan peraturan perundangan adalah juga sebagai budaya publik, dimana menjadi pegangan bersama untuk mengelola kepentingan masyarakat yang beraneka ragam dan bertentangan satu dengan yang lainnya.

Melegislasi Moralitas
Herbert Packer berpendapat bahwa prinsip membahayakan orang lain, yang merupakan pendapat John Stuart Mill, memiliki kegunaan, dimana prinsip tersebut menegaskan pentingnya menjatuhkan hukuman berdasarkan bahwa perilaku tertentu yang dapat memberikan efek negatif, merugikan, atau membahayakan pihak lain. Ada perhatian tertentu terhadap pendapat Packer, yakni dari sudut pandang hukum kriminal :
– Pentingnya memastikan bahwa seseorang yang dihukum karena memang bersalah, dimana harus ada fakta yang jelas atau bukti yang dapat memastikan (mens rea-actus reus) bahwa seseorang pantas dihukum;
– Pentingnya memberi hukuman yang setimpal sesuai dengan tingkat kerugian yang diderita oleh pihak lain, dengan tetap berdasarkan pada penerapan keadilan;
– Adanya garis pemisah yang jelas antara pertimbangan hukum dan pertimbangan moral. Bahwa orang dihukum adalah orang yang memang melanggar norma hukum, bukan norma moral. Meskipun pada konteks ini dapat melanggar norma moral dan norma hukum sekaligus, negara hanya menghukum mereka yang melanggar norma hukum.

Ada pendapat yang menyatakan menolak melegislasi moralitas (Henkin). Maksud penolakan ini dikarenakan ada batasan yang jelas antara hukum dan moral. Hukum hanya bertujuan rasional utilitarian yang sah yang disebut hukum, sementara moral berasal dari sisa warisan keagamaan sehingga negara tidak perlu mempertahankan pandangan moral dengan menetapkannya sebagai hukum. Pendapat lain (Hart) menyatakan bahwa yang menjadi persoalan adalah moralitas mana yang dapat ditegakkan melalui hukum. Jawaban atas persoalan tersebut, oleh Hart, dapat dicari dengan melandaskan pada kritiknya terhadap pendapat Lord Devlin yang menyatakan pentingnya moralitas komunitas sebagai alat kohesi sosial, dan juga karenanya menjadi jaminan eksistensi komunitas. Devlin menyatakan bahwa ada standar perilaku tertentu atau prinsip moral yang oleh masyarakat dituntut untuk dipatuhi. Hal ini mengindikasikan adanya keberlangsungan hidup masyarakat dilandasi dengan kepatuhan dan upaya memenuhi keyakinan dan standar umum (yang juga disebut moralitas publik). Devlin menjadi pembela yang baik dari paternalisme hukum, dimana hukum kriminal tidak mengenal persetujuan atau pilihan bebas korban, sebagai alasan tertuduh untuk melepaskan diri dari tuntutan hukum kriminal.
Dalam perdebatan mengenai paternalisme hukum dapat diterima atau tidak, Hart memandang bahwa ada ketidakmampuan membedakan antara peternalisme hukum dari apa yang disebut dengan moralitas hukum. Bahwa tuntutan imoralitas harus dikenai sanksi hukum, menurut Hart, sesungguhnya merupakan ungkapan moralisme hukum yang harus dibedakan dari paternalisme hukum. Selain itu kriterium pembatasan paksaan hukum, menurut Hart, penting untuk memperhatikan apa yang dimaksud dengan tindakan yang dilakukan dalam lingkup publik dan yang dilakukan dalam lingkup privat. Jadi perdebatan paternalisme hukum dapat diterima atau tidak, juga berdasarkan pada tidak adanya pembedaan yang jelas antara imoralitas dari praktek dan aspeknya sebagai gangguan atau ancaman terhadap kepentingan publik. Konkritnya bahwa suatu tindakan yang dilakukan dalam wilayah privat tidak dapat disebut sebagai imoralitas, kecuali tindakan privat tersebut dilakukan di wilayah publik.
Hart secara prinsip sebenarnya mempunyai pendapat yang sama dengan John Stuart Mill, walaupun berbeda titik tolaknya. Hart berpendapat bahwa distingsi aspek privat dan aspek publik tindakan sebagai upaya membatasi paksaan hukum lebih pragmatis, sementara John Stuart Mill bertolak dari posisi moral untuk membela kebebasann yang menurutnya secara substansial menandai eksistensi manusia sebagai manusia.
Golding menyatakan bahwa alasan privat tidak cukup sebagai alasan untuk membatasi penerapan hukum. Alasan privat tidak dapat menjadi alasan yang cukup untuk melaksanakan suatu tindakan dari lingkup perhatian publik. Setiap masyarakat selalu membutuhkan pengaturan tertentu. Mengenai pembatasan hukum atas moralitas, merupakan pertanyaan yang sulit dijawab. Menurut Golding, idealnya perilaku yang tepat dan hidup yang pantas tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Golding menyatakan bahwa yang dianggap tindakan kriminal adalah tindakan yang pada dasarnya memperlakukan manusia sebagai alat. Menurut Golding pula, tidak hanya mewaspadai tindakan yang jelas berpengaruh buruk bagi publik karena dilakukan di tempat umum, namun juga tindakan yang seharusnya dapat dihindari karena pada dasarnya tidak baik atau merugikan, meskipun dilakukan di ruang privat. Pendapat ini menyiratkan adanya upaya perlindungan terhadap hak, yakni hak yang dilindungi di dalam ruang privat manupun publik. Perilaku privat suatu saat dapat menjadi perilaku publik, sehingga berdampak negatif, maka perlindungan hak menjadi penting. Perlu ada penekanan bahwa perlindungan hak tertentu tidak berarti tindakan publik yang dipandang imoral harus dikriminalisasi. Hal ini karena meskipun tindakan yang dilakukan merupakan tindakan imoral, namun tidak merugikan kepentingan umum, tidak perlu dikriminalisasi. Kemudian, tindakan terebut tidak berarti merupakan tindakan yang pantas dan harus dilindungi.
Moralitas yang akan dilegislasi dapat berdampak negatif terhadap penghormatan akan kebebasan dan martabat individu sebagai manusia. Maka dalam pembentukan hukum, harus diupayakan pertimbangan yang proporsional akan wilayah privat dan kepentingan publik. Artinya bahwa tindakan yang imoral, harus diatur secara baik agar kebebasan individu dan kepentingan publik tetap terlindungi.
Moralitas publik kemudian diperdebatkan, terutama hal-hal apa yang dapat dianggap sebagai moralitas publik. Oleh Devlin, moralitas publik ditentukan oleh orang-orang tertentu (the right minded men) yang mengarahkan hidupnya sesuai dengan kesadaran akan yang baik dan benar. Orang-orang ini dibimbing oleh perasaan (feeling) untuk menentukan hal yang baik dan benar, adil dan tidak adil, dalam bentuk norma yang menjadi moralitas publik. Penilaian moral, oleh Devlin harus disertai juga dengan pertimbangan yang tepat. Apa yang ditangkap oleh perasaan (walaupun secara rasional sulit dipahami), kemudian harus dipertimbangkan secara cermat dan tenang untuk kemudian dapat digunakan sebagai penilaian dan pertimbangan dalam mengambil keputusan. Devlin juga berpendapat bahwa kebebasan merupakan salah satu nilai di dalam masyarakat, selain nilai kepatuhan pada moralitas bersama. Jadi eksistensi kebebasan, harus diselenggarakan dengan tetap tunduk pada moralitas bersama.
Sependapat dengan Golding dan John Rawls, maka kesimpulannya adalah bahwa pembatasan hukum harus dilakukan dengan melihat kasus demi kasus, untuk tetap menghargai kebebasan manusia di dalam masyarakat, serta keputusan/kebijakan yang diambil, harus dilakukan oleh mereka yang memiliki kemampuan dan pengetahuan sosial yang mendalam.

Moralitas Komunitas
Dalam pembentukan hukum tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai moral yang ada di dalam kenhidupan masyarakat. Nilai bersama merupakan panduan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk di dalam masyarakat. Nilai bersama juga dapat berfungsi sebagai perekat sosial, dimana Devlin fungsi ini penting dalam kehidupan masyarakat, karena merupakan kebutuhan dalam masyarakat yang pluralistik. Dalam pendapat ini tersirat bahwa moralitas tunggal adalah cara untuk membangun ikatan sosial. Namun pendapat Devlin ini bertentangan dengan pendapat John Rawls yang menyatakan bahwa di dalam masyarakat yang pluralistik, ikatan sosial tidak dibangun melalui moralitas komunitas yang bersifat tunggal, namun lewat kesadaran akan adanya toleransi bagi komunitas masyarakat yang memiliki moralitas yang beragam nilai-nilainya.
John Rawls menyatakan bahwa tidak ada keharusan untuk melegalisasi moralitas, karenanya konstitusi digunakan untuk merekatkan masyarakat. Di dalam konstitusi terdapat hak-hak warga negara atau kebebasan merupakan nilai yang harus dilaksanakan dengan payung konstitusi. Dengan demikian ukuran untuk menilai perilaku anggota masyarakat adalah konstitusi. Konstitusi ini berisikan hak dan kewajiban warga negara yang selayaknya dipatuhi dan dijadikan pedoman bagi negara untuk melakukan upaya perlindungan terhadapnya. Sebagai anggota komunitas publik, konstitusi yang menjamin demokrasi, merupakan acuan normatif bagi kehidupan bersama. Di sini Rawls menarik garis pemisah antara nilai politik dan nilai moral. Pemahaman yang lebih mendalam mengenai moralitas komunitas, adalah keberadaan nilai bersama yang dipergunakan untuk hidup bersama, dan anggota masyarakat diberikan kesempatan untuk berkembang.

—————–

Di-review dari Ujan, A.A. Filsafat Hukum. Cet. 1. Kanisius: Yogyakarta, 2009. Hal. 123-149