Setyo Pamungkas

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Posted in Hukum (Law) by Setyo on August 5, 2010

*Analisis Terhadap Tanggung Jawab Korporasi pada KUHP dan UU No. 27 Tahun 1999

Pengantar
Pergeseran pemikiran mengenai subyek hukum pidana, berpengaruh juga pada aktivitas korporasi yang semakin berkembang di era globalisasi. Perkembangan ini juga dipengaruhi pemikiran bahwa korporasi membuka peluang bagi munculnya konsepsi kejahatan yang subyek pelaku jahatnya tidak terbatas pada persona alamiah saja, namun juga pada organisasi tertentu. Organisasi dalam konteks ini tentu menunjuk pada korporasi. Persoalannya kemudian bahwa ada perdebatan mengenai korporasi itu sendiri, apakah sebagai legal entity dapat dikenai tuntutan pidana, dan bahkan sebelumnya bisa diperdebatkan apakah sebenarnya korporasi layak untuk disebut sebagai subyek hukum dalam tindak pidana. Pada kenyataannya, korporasi berkembang menjadi pihak yang juga memiliki kecenderungan-kecenderungan aktivitas negatif, atau berdampak negatif terhadap eksistensi subyek lain dalam lingkungan sosial. Dampak tersebut berupa kerugian yang diderita oleh orang lain. Karena menimbulkan kerugian, maka korporasi dapat dikategorikan sebagai pelaku kejahatan yang lazim disebut kejahatan korporasi. Oleh karena itu, diperlukan suatu bentuk tanggung jawab yang layak ditujukan kepada korporasi sebagai subyek.

Dilema Korporasi Sebagai Subyek Hukum Pidana
Pada dasarnya tindak pidana tidak berdiri sendiri, yakni bahwa tindak pidana tersebut baru bermakna apabila terdapat pertanggungjawaban pidana. Dengan demikian pernyataan tersebut memiliki arti bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya dapat dipidana. Untuk dapat dipidananya seseorang, ia harus dapat dimintai pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (vewijtbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang telah dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.

Subyek Hukum Pidana dalam UU No. 27 Tahun 1999
Di dalam UU No. 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, korporasi sebagai subyek hukum tidak diatur. Undang-undang ini hendak menjelaskan dan menambahkan ketentuan dalam KUHP Pasal 107, tentang kejahatan terhadap keamanan negara, dengan menambahkan beberapa pasal sebagai berikut :

Pasal 107a:
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
Pasal 107b:
Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dari atau melalui media apapun, menyatakan keinginan untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 107c:
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 107d:
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 107e:
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas tahun:
a. barang siapa yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atas dalam segala bentuk dan perwujudannya; atau
b. barang siapa yang mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau dalam segala, bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan Pemerintah yang sah.
Pasal 107f:
Dipidana karena sabotase dengan pidana penjara seumur hidup atau paling lama 20 (dua puluh) tahun:
a. barangsiapa yang secara melawan hukum merusak, membuat tidak dapat dipakai, menghancurkan atau memusnahkan instalasi negara atau militer; atau diundangkan
b. barangsiapa yang secara melawan hukum menghalangi atau menggagalkan pengadaan atau distribusi bahan pokok yang menguasai hajat hidup orang banyak sesuai dengan kebijakan Pemerintah.

Dengan melihat pada substansi pada beberapa tambahan dalam pasal-pasal tersebut, maka perlu dilihat ketentuan dalam Pasal 107, yakni : “(1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun; (2) Para pemimpin dan pengatur makar tersebbut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.” Berkaitan dengan pembahasan mengenai korporasi, maka dalam pengaturan tersebut, apakah korporasi dapat dikenakan perbuatan yang demikian?
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah korporasi dapat melakukan perbuatan makar dan menimbulkan ancaman bagi keamanan negara. Kemudian pertanyaan yang lain adalah mengapa tambahan perubahan di dalam KUHP melalui undang-undang tersebut, tidak mengakomodasi keberadaan korporasi sebagai subyek hukum pidana dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara. Di dalam pengaturan tersebut secara tekstual tidak dapat ditemukan korporasi sebagai pihak yang menjadi subyek dalam melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.
Frasa ‘barangsiapa..’ dalam ketentuan di dalam pasal-pasal tambahan tersebut, bilamana diintepretasikan, dapat dikategorikan sebagai person alamiah saja. Hal ini dikarenakan adanya niatan (keinginan secara individu) untuk melakukan perbuatan-perbuatan melawan hukum yang dijelaskan dalam pasal-pasal tersebut. Kata ‘barangsiapa…’ juga membatasi peluang pengenaan terhadap subyek hukum yang lain, yakni korporasi sebagai subyek yang secara terorganisir dapat melakukan perbuatan jahat yang mengancam keamanan negara.
Dengan demikian maka perbuatan pidana dalam ketentuan tersebut bilamana dilakukan dengan maksud dapat memberikan manfaat bagi korporasi, dan bukan merupakan kecurangan terhadap korporasi, yakni bahwa memang membahayakan keamanan negara, tidak diakomodasi di alam ketentuan pasal-pasal tambahan di atas. Artinya bahwa pertanggungjawaban atas dilakukannya perbuatan pidana tersebut menjadi pertanggungjawaban korporasi hanya apabila personel yang melakukan perbuatan tersebut sejak semula memiliki tujuan atau maksud agar perbuatan pidana yang mengancam keamanan tersebut memberikan manfaat bagi korporasi, bukan sebaliknya, yakni bermaksud hendak merugikan korporasi itu sendiri.

Adapun bilamana korporasi melakukan tindakan yang dilakukan memberikan manfaat, yakni berupa keuntungan finansial atau non-finansial atau dapat menghindarkan/mengurangi kerugian finansial maupun non-finansial bagi korporasi, maka perlu adanya ketentuan yang mengakomodir hal tersebutt. Sementara di dalam undang-undang tersebut, tidak ada akomodasi di dalam substansi pengaturannya. Perlu dicatat bahwa dalam hal pelaku hanya menjalankan perintah orang lain, pertanggungjawaban dari perbuatan pidana itu dapat dibebankan kepada korporasi hanya apabila pemberi perintah memiliki maksud atau tujuan bahwa perbuatan pidana itu akan memberikan manfaat bagi korporasi. Sekalipun perbuatan pidana tersebut gagal memberikan manfaat bagi korporasi, tetap saja koporasi harus memikul pertanggungjawaban pidananya.

1. Korporasi Tidak Dapat Dikenakan Pertanggungjawaban Pidana
Secara teoritis, untuk dikenai tindak pidana, maka sesuatu perbuatan atau seseorang yang melakukan tindak pidana, maka ada dua hal yang perlu diperhatikan :
a. dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan;
b. dasar dapat dipidananya pembuat tindak pidana adalah asas kesalahan.
Dengan memperhatikan kedua hal tersebut di atas, maka perlu dipahami bahwa subyek pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Sedangkan tentang kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan, yaitu bahwa merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Padahal yang dimaksud dengan “kesalahan” adalah keadaan jiwa seseorang yang melakukan perbuatan dan perbuatan yang dilakukan itu sedemikian rupa, sehingga orang itu patut dicela. Apabila pembuat tindak pidana memang mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana, maka ia akan dijatuhi pidana. Dan pada sisi sebaliknya subyek pembuat tindak pidana yang tidak mempunyai kesalahan, walaupun telah melakukan perbuatan yang dilarang dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana, ia tidak akan dijatuhi pidana. Hal ini berarti bahwa asas tiada pidana tanpa kesalahan ditempatkan sebagai asas fundamental dalam pertanggungjawaban pembuat tindak pidana karena telah melakukan tindak pidana.
Di dalam konteks kesalahan sendiri, terdiri dari beberapa aspek, yang hanya melekat pada manusia (natuurlijke person), yakni; kemampuan bertanggung jawab, kesengajaan, kealpaan, dan tidak ada alasan pemaaf. Oleh karena aspek-aspek yang melekat inilah, maka manusia sebagai subyek yang individulah yang memenuhi unsur kemampuan bertanggung jawab (kecakapannya), unsur kesengajaan (bahwa pelaku memang memiliki keinginan untuk melakukan suatu tindak pidana dan memaksudkan dengan tindak pidana tersebut tercapai suatu tujuan tertentu). Dengan demikian maka korporasi tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana, karena unsur kesalahan sulit dikenakan kepada korporasi yang bukanlah manusia. Korporasi sebagai legal entity tidak mempunyai jiwa. Korporasi juga menjadi sulit dibuktikan niat dan ukuran kedewasaannya untuk mengetahui keinginan dan kecakapannya. Hal itu berarti bahwa korporasi tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana.

2. Korporasi Dapat Dikenakan Pertanggungjawaban Pidana
Oleh karena perkembangan globalisasi dan salah satu pihak dalam aktivitas tersebut adalah korporasi, maka dimungkinkan terjadinya permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kerugian yang ditimbulkan oleh eksistensi korporasi. Pemikiran tentang korporasi tidak dapat dikenakan tuntutan pidana, bergeser menjadi pemikiran untuk menempatkan korporasi sebagai pihak yang dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana. Memang pada mulanya korporasi atau badan hukum adalah subyek yang dikenal dalam konteks hukum perdata, akan tetapi karena perannya yang mempengaruhi kehidupan sosial, maka perlu diposisikan sebagai subyek pada hukum pidana pula.
Secara teoritis kemudian dapat dicermati bahwa di dalam lapangan hukum pidana, kesulitan yang ada adalah bagaimana konstruksi pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai pelaku delik pidana. Karena pada dasarnya korporasi (meskipun sebagai subyek hukum) tidak dapat melakukan perbuatan hukumnya sendiri, akan tetapi selalu harus menggunakan perantara yakni orang dengan perbuatan manusia. Konstruksi pertanggungjawaban pidana korporasi kemudian harus dilihat tentang kepastian adanya manusia yang menjadi pelaku sesungguhnya (pelaku materiil) dari delik. Di dalam konteks itulah ada dua hal yang harus diperhatikan dalam menentukan ada tidaknya tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Pertama, adalah bahwa terdapat perbuatan pengurus yang harus dikonstruksikan sebagai perbuatan korporasi. Sementara yang kedua adalah tentang ada tidaknya kesalahan pada korporasi. Meskipun menuai perdebatan, namun di dalam ilmu hukum pidana diterangkan mengenai pelaku tindak pidana yang seringkali diperhubungkan dengan perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh subyek pembuat (fysieke dader), tapi hal ini sebenarnya dapat diantisipasi dengan adanya ajaran “pelaku fungsional” (functionele dader).
Dengan demikian dapat disimpulka bahwa korporasi, dapat dikategorikan sebagai subjek dalam tindak pidana, sehingga korporasi dapat dimintai pertanggung jawaban atas tindakan pidana, jika tindakan pidana tersebut dilakukan oleh atau untuk korporasi maka hukuman dan sanksi dapat dijatuhkan kepada korporasi dan/atau individu di dalamnya. Namun demikian perlu diadakan indentifikasi pada individu korporasi misalnya pada direktur, manajer dan karyawan agar tidak terjadi kesalahan dalam penjatuhan hukuman secara individual.

Ingin mendapatkan file (.doc, .pdf) silakan contact ke schape09@gmail.com