Setyo Pamungkas

Dewan Pengupahan: Anomali Tugas dan Wewenangnya

Posted in Hukum (Law), Ketenagakerjaan by Setyo on January 28, 2013

SetyoUpah minimum adalah sesuatu yang luar biasa belakangan ini. Indonesia terkenal dengan tenaga kerjanya yang murah dan jumlahnya sangat banyak. Upah minimum (yang katanya adalah jaring pengaman sosial-safety nett) diacu sebagai besarnya biaya yang ditanggung oleh pengusaha. Sudah pasti dan terbukti bahwa pengusaha atau perusahaan mencari peluang agar upah yang dibayarkannya tidak menyebabkan aktivitas produksinya terganggu dan menimbulkan kerugian lain.

Upah minimum muncul dari usulan dan pembahasan yang dilakukan oleh Dewan Pengupahan, baik di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Secara yuridis, Dewan Pengupahan diatur di dalam Keputusan Presiden No. 107 tentang Dewan Pengupahan. Masing-masing tingkatan Dewan Pengupahan, memiliki kewenangannya masing-masing pula. Memaknai fungsi Dewan Pengupahan, tidak jauh beda dengan memaknai suatu lembaga quasi yang sebenarnya antara bisa dibutuhkan atau tidak. Serba mungkin di negara ini, dan lebih-lebih serba dimungkinkan. Dewan Pengupahan merupakan manifestasi kepentingan bangsa dan negara ini untuk mendorong adanya kesepakatan-kesepakatan dalam menentukan arah dari (salah satu faktor) pertumbuhan ekonomi. Satu-satunya fungsi yang nampak dari Dewan Pengupahan: ‘memberikan saran dan pertimbangan’ khususnya untuk upah bagi pekerja.

Landasan hukum bagi Dewan Pengupahan, yang utama adalah UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Meskipun undang-undang ini telah diuji-materiilkan beberapa kali, tidak menyurutkan niatan untuk tetap mengamankan ketentuan-ketentuan di dalamnya. Turunan undang-undang ini, yang secara spesifik mengatur mengenai Dewan Pengupahan adalah Keppres 107 Tahun 2004.

Wewenang Dewan Pengupahan

Berdasarkan Keppres 107 Tahun 2004, Dewan Pengupahan terbagi atas Dewan Pengupahan Nasional, Dewan Pengupahan Provinsi dan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota. Mengkaji mengenai Dewan Pengupahan memang serba aneh. Dalam Keppres tersebut, Dewan Pengupahan didefinisikan sebagai “suatu lembaga non-struktural yang bersifat tripartit.” Menjelaskan konsepsi ‘lembaga non-struktural’ itu sendiri saja sudah sulit. Dewan Pengupahan dalam sistem ketenagakerjaan di Indonesia, adalah lembaga non struktural yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden, yang dalam kerangka ini, kewenangan Dewan Pengupahan murni berasal dari Presiden sebagai kepala pemerintahan, sehingga proses pembentukannya merupakan manifestasi hak prerogative Presiden. Karena bersifat nonstruktural, dalam arti tidak termasuk dalam struktur organisasi kementerian ataupun lembaga pemerintah nonkementerian, maka keberadaan Dewan Pengupahan seakan-akan ada dan tidak ada, tapi nampak.

Permasalahannya, untuk apa sebenarnya Dewan Pengupahan ini dibentuk? Mengapa kemudian (menurut anggapan Presiden) Dewan Pengupahan dianggap penting? Pada bagian konsideran Keppres 107 Tahun 2004, Dewan Pengupahan dibentuk semata-mata untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 98 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Tidak nampak alasan pedagogis yang sebenarnya layak untuk dijadikan panduan. Artinya bahwa tujuan pembentukan Dewan Pengupahan ada di grey area alias tidak jelas (meskipun sebenarnya alasan ini debatable juga).

Pasal 98 UU No. 13/2003 memang menyatakan bahwa: “untuk memberikan saran, pertimbangan dan merumuskan kebijakan pengupahan  yang akan ditetapkan pemerintah, serta untuk pengembangan sistem pengupahan nasional dibentuk Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota.” Dengan melihat ketentuan inipun, sebenarnya karakter dari Dewan Pengupahan adalah sebagai lembaga non-struktural yang bersifat lembaga non-struktural advisory saja (selain bersifat tripartit tentunya). Oleh karena hanya sebagai lembaga advisory saja, maka terpenuhilah sifat dasar Dewan Pengupahan: memberikan masukan, saran serta rekomendasi terhadap berbagai usahan perubahan yang dilakukan pemerintah, khususnya di bidang pengupahan. Sementara karakter tripartit, hanya menunjuk pada keberadaannya yang terbentuk dari beberapa unsur, yakni Pemerintah, pengusaha dan pekerja.

Dewan Pengupahan terbagi menjadi 3 (wilayah), yakni Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dewan Pengupahan Nasional bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam rangka perumusan kebijakan pengupahan dan pengembangan sistem pengupahan nasional (Pasal 4 Keppres 107/2004). Peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan tidak ada yang memberikan ketegasan bagaimana wewenang Dewan Pengupahan Nasional yang sesungguhnya. Tugas memberikan saran dan pertimbangan tidak memunculkan konsepsi kewenangan apapun bagi Dewan Pengupahan. Lalu kenapa harus dibentuk?

Dewan Pengupahan Provinsi memiliki tugas untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Gubernur dalam rangka penetapan upah minimum provinsi (UMP), upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan upah minimum sektoral (UMS), penerapan sistem pengupahan di tingkat provinsi, dan menyiapkan bahan perumusan pengembangan sistem pengupahan nasional. Tugas Dewan Pengupahan Provinsi juga sama saja pada prinsipnya dengan Dewan Pengupahan Nasional, hanya saja ruang lingkupnya berbeda. Sejalan dengan tugas itu, maka wewenang yang dimilikinya juga tidak begitu saja muncul. Setidak-tidaknya hanya dua hal utama yang bilamana itu dapat disebut sebagai kewenangan, yakni Dewan Pengupahan Provinsi dapat membentuk komisi untuk melakukan tugas tertentu dan mengatur lebih lanjut tentang tata kerjanya. Konteks kewenangannya pun menjadi sangat terbatas (sekalipun ada kewenangan lain yang berupa memberikan usul penggantian anggota).

Tidak jauh beda, Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota juga pada dasarnya memiliki ruang tugas yang sama dengan Dewan Pengupahan Provinsi, hanya ruang lingkupnya di tingkat Kabupaten/Kota saja. Tugas Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota seperti hanya mempersempit wilayah saja, yakni sebatas Kabupaten/Kota. Akan tetapi, faktanya adalah bahwa Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota menjadi organ terdepan yang berhadapan terus menerus dengan masyarakat umum, khususnya yang berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan. Itupun, momennya sangat terbatas. Misalnya, pada saat ‘musim’ penentuan upah.

Wewenang Spesial Dewan Pengupahan Provinsi dan Kabupaten/Kota

Tugas dan wewenang adalah dua konsep yang berbeda. Meskipun pada dasarnya keduanya saling berkaitan. Tugas merupakan sesuatu yang wajib dikerjakan atau sudah ditentukan untuk dilakukan; atau pekerjaan yang menjadi tanggung jawab seseorang, yakni pekerjaan yang dibebankan; atau suruhan (perintah) untuk melakukan sesuatu. Berbeda dengan wewenang yang adalah hak/kekuasaan yang dimiliki untuk melakukan sesuatu.

Tugas Dewan Pengupahan memang nyata secara yuridis di dalam Keppres 107/2004. Namun, di sisi lain tugas tersebut seharusnya berimplikasi pada hal-hal tertentu yang dapat dilakukan oleh yang diberikan tugas, yakni wewenang yang juga seharusnya tercantum secara jelas. Wewenang Dewan Pengupahan tidak kemudian dinyatakan secara tegas. Wewenang juga seharusnya memunculkan ruang koordinasi antara bagian yang satu dengan yang lainnya. Menjadi aneh, karena tidak nampak di dalam Keppres 107/2004 tentang fungsi koordinasi antara Dewan Pengupahan Pusat, Dewan Pengupahan Provinsi dan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota.

Hal ini berarti bahwa tidak ada keterkaitan organisasi antar Dewan Pengupahan. Masing-masing Dewan Pengupahan tidak memiliki jalinan koordinasi antara yang satu dengan yang lainnya. Lembaga ini kemudian menjadi aneh. Koordinasi antar Dewan yang tidak diakomodasi di dalam Keppres, menjadi salah satu penyebab munculnya masalah-masalah koordinasi. Sesungguhnya, masing-masing dewan pengupahan tidak berhak menuntut satu sama lain. Dalam Keppres, hal ini tidak disediakan aturannya. Dengan demikian, wajarlah kemudian pada prakteknya, Dewan Pengupahan Nasional, Dewan Pengupahan Provinsi dan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota bekerja secara sendiri-sendiri. Tentu saja karena salah satu aspek tugasnya tidak ada keharusan untuk melaksanakan koordinasi dengan Dewan Pengupahan di tingkatan yang berbeda. Wewenang melakukan koordinasi juga tidak ada.

Karena tidak ada kaitan secara peraturan perundang-undangan, maka tidaklah ada kewajiban untuk menghubung-hubungkan antara satu dengan yang lainnya. Tabu secara hukum. Pada prakteknya, ternyata Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota seringkali meminta Dewan Pengupahan Provinsi untuk melakukan sesuatu. Inilah dalam karakter hukum dapat dikategorisasikan sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan undang-undang. Namun, juga berlaku prinsip selama tidak diatur di dalam peraturan perundang-undangan, maka sesuatu perbuatan boleh dilakukan. Dewan Pengupahan boleh-boleh saja tidak berkoordinasi dengan Dewan Pengupahan lainnya. Sah bukan?

Dalam rangka menetapkan upah, Dewan Pengupahan Provinsi dan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota ternyata punya wewenang yang spesial. Hal ini dikarenakan ada Permenakertrans No. 12 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak yang mencantumkan hal-hal yang dapat dilakukan Dewan Pengupahan. Selain yang diatur dalam Keppres 107/2004, yakni bahwa Dewan Pengupahan Provinsi dan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota dapat membentuk gugus tugas dalam komisi dan mengatur lebih lanjut tentang tata kerjanya, Permenakertrans 13/2012 juga memberikan peluang kewenangan. Kewenangan melalui Permenakertrans adalah ‘menetapkan kualitas dan spesifikasi teknis masing-masing komponen dan jenis KHL’ dan ‘membentuk tim survey KHL’, serta ‘menetapkan nilai KHL’.

Tiga hal inilah, menurut hemat saya, merupakan wewenang spesial dari Dewan Pengupahan Provinsi dan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota. Spesial karena: wewenang diadakan khusus dalam rangka merumuskan upah. Akan tetapi, sekali lagi, bahwa keduanya sama sekali tidak dianjurkan bahkan di dalam Permenakertrans untuk melaksanakan suatu fungsi hubungan tertentu.

Masalah yang (bisa) muncul adalah bahwa bilamana Kualitas dan spesifikasi teknis komponen KHL ditetapkan? Siapa yang berhak? Penetapannya di dalam Permenakertrans dapat dilakukan oleh Dewan Pengupahan Provinsi atau Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota. Intepretasi dari Pasal 3 ayat (1) dan (2):

  1. Nilai masing-masing komponen dan jenis KHL diperoleh melalui survei harga yang dilakukan secara berkala.
  2. Kualitas dan Spesifikasi teknis masing-masing komponen dan jenis KHL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disepakati sebelum survei dilaksanakan dan ditetapkan oleh Ketua Dewan Pengupahan Provinsi atau Ketua Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota. 

Yang berwenang dan berhak menentukan penetapan komponen dan jenis KHL adalah Dewan Pengupahan Provinsi atau Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota. Secara definitif atau secara otentik, berarti ini menjadi pilihan. Kalau Dewan Pengupahan Provinsi sudah menetapkan, apakah boleh Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota menetapkan pula? Aneh bin ajaib. Kalaupun sudah ditetapkan salah satu, apakah kemudian penetapan itu berlaku bagi yang lain? Ini masalah lagi.

Dewan Pengupahan Provinsi dan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota, pembentukannya dilakukan oleh masing-masing kepala daerah. Implikasinya adalah bahwa masing-masing tidak memiliki hak untuk memaksakan aturan organiknya kepada yang lain. Sebaliknya, masing-masing juga tidak berhak untuk menuntut yang lain. Secara yuridis, hal ini ditabukan, karena tidak diatur. Meski sebenarnya bisa saja dilakukan karena tidak ada larangan.

Faktanya adalah bahwa Dewan Pengupahan Kabupaten/kota sering menuntut agar Dewan Pengupahan Provinsi menetapkan panduan KHL untuk menjadi acuan bagi pelaksanaan survey KHL di wilayahnya masing-masing. Menurut saya, hal ini aneh. Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota bisa menetapkan sendiri jenis dan komponen KHL, asal tetap mengacu dasar hukum yang sama: Permenakertrans No. 13 Tahun 2012.

Yang diagungkan adalah hubungan industrial yang harmonis. Jadi, karakternya diharuskan bisa seragam. Dewan Pengupahan Provinsi dan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota dengan wewenang spesialnya, tidak mengindikasikan adanya interaksi yang sepadan dengan situasi dan kondisi hubungan industrial yang sedang diperjuangkan untuk jadi harmonis. Catatan terpentingnya adalah bahwa ‘tugas’ dan ‘wewenang’ adalah berbeda.

Dewan Pengupahan Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota tidak kemudian menegaskan fungsi koordinasinya. Ke depan, Dewan Pengupahan akan tetap seperti ini bilamana peluang-peluang yang berkaitan dengan wewenangnya tidak diperjelas dalam kerangka hukum yang pasti. Inilah salah satu masalah dalam keberadaan lembaga non struktural. Pentingkah Dewan Pengupahan? Sementara di sisi lain ada yang disebut juga dengan Lembaga Kerjasama Tripartit yang kurang lebih secara keanggotaan juga digawangi oleh unsur yang sama. Satu-satunya tugas yang bisa mendorong agar ada interaksi satu dengan yang lain (yang nampak jelas) adalah: menerapkan sistem pengupahan nasional.

——–

Tulisan ini merupakan murni pendapat pribadi penulis. Tulisan di atas dapat menjadi sesuatu yang bisa diperdebatkan. Bilamana pembaca kurang berkenan, diskusi atau tanggapan bisa disampaikan dengan mengisi kolom komentar atau contact di setyopamungkas@gmail.com. Terimakasih.

One Response

Subscribe to comments with RSS.

  1. Adi Sudewa said, on October 30, 2013 at 3:59 am

    Terima kasih, analisisnya bagus. Media jarang mengungkapkan hal-hal seperti ini. Kebijakan pengupahan diserahkan kepada pemerintah daerah, padahal kebijakan perdagangan bebas diambil oleh pemerintah pusat. Benar-benar tata kelola yang aneh


Leave a comment